Gading SemPal di Alas Mentaok

Karang Taruna Tlogomudho Makaryo dan Warga Padukuhan Tlogowarak

Giat tanam pohon di kawasan penyangga Telaga Palgading

Waktu : Minggu, 9 November 2025
Jam 08.30 s/d selesai

Lokasi : Telaga Palgading, Padukuhan Tlogowarak, Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Purwosari, Gunungkidul

Peralatan ; alat tanam dan kopi andalan


* Karang Taruna Tlogomudho Makaryo Padukuhan Tlogowarak

* Warga dan Pemerintah Padukuhan Tlogowarak

* Pemerintah Kalurahan Giripurwo

* Pemerintah Kapanewon Purwosari

* Tompak Watu

* Komunitas Pelaku Pariwisata Yogyakarta (KPPY)

* Universitas Gunungkidul (UGK)

* Nandur Tuk Memetri Tuk (NTMT Yogyakarta)

*.....

*....

*....

* Resan Gunungkidul

(Kawasan Telaga Palgading luasnya hampir satu hektar, butuh banyak bibit pohon dan tenaga dalam giat besok. Mari sedulur relawan semua, sebatas kemampuan berbakti kepada alam dan kehidupan🌳🌳🌳🌳🌿🌿🌺🌺❤️🇲🇨🇲🇨)


*Mendengarkan cerita Mbah Parwidi Wiyono, Juru Kunci Telaga Palgading seolah melihat slide film hitam putih masa purwa dari peradaban Gunungkidul. Alur cerita tidak terikat angka tahun. Penuh 'sanepan' yang harus dicerna dulu tidak ditelan mentah. Kalimat Mbah Parwidi mengalir pelan, menelisik lipatan-lipatan waktu dan terbawa dalam riak air telaga yang terhembus angin musim 'kasanga' menjelang 'mangsa labuh'

Palgading menurut Mbah Parwidi berasal dari cerita seekor gajah yang gadingnya semPal (patah). Semua berawal dari rencana pembangunan Keraton Cempolo Wati yang seharusnya diselesaikan dalam waktu satu malam tapi ternyata 'badar' (gagal). Suara 'jago kluruk' (kokok ayam) yang menggema di pagi itu adalah tanda akhir sangkakala dari limit waktu yang telah disepakati. Akibatnya, semua hewan-hewan penghuni hutan geger. Bubar berlarian sehingga ada gajah yang sempal (patah) gadingnya. 

"Ee...mbesuk yen eneng rejaning jaman mulyaning ghaib, papan iki tak jenengke Palgading" begitu titah dari leluhur

Ada yang tidak biasa terkait toponimi di wilayah ini. Fabel yang diceritakan secara tutur dan turun temurun menjadikan tokoh-tokoh hewan mendominasi penamaan tempat. Uniknya, secara administratif nama wilayah justru memakai nama telaga, yakni Padukuhan Tlogowarak (Warak, adalah hewan jenis Badak Jawa). Sedangkan telaganya sendiri memakai nama Palgading (gajah yang semPal/patah gadingnya)

Latar belakang dari cerita asal muasal ini bersetting pada jaman purwa (pewayangan). Kawasan Telaga Palgading yang dikelilingi oleh 'gunung pitu' (bukit berjumlah tujuh), oleh leluhur diidentikkan dengan Pertapan Kirota Awu tempat Beghawan Abiyasa bersemedi. Oleh Sang Dalang, Pertapaan Kirota Awu ini digambarkan dalam 'suluk wayang' sebagai sebuah tempat yang indah mempesona

"Toyane mili lenggak lenggok kaya lakune naga nglangi" (airnya mengalir berkelok-kelok seperti tubuh naga yang sedang berenang)

Cerita kemudian melompat pada masa fase terbentuknya Kerajaan Mataram. Kawasan Telaga Palgading diyakini sebagai Alas Mentaok. Dalam cerita sejarah yang diamini banyak orang, Alas Mentaok adalah alas angker yang diberikan sebagai hadiah oleh Raja Pajang (Sultan Hadiwijaya/Jaka Tingkir) kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya meredam pemberontakan Aria Penangsang. Oleh putra Ki Ageng Pemanahan, yakni Danang Sutawijaya, Alas Mentaok dibangun dan kemudian berkembang menjadi cikal bakal berdirinya Kasultanan Mataram Islam

"Nggen lakon kethoprak, lha nggih mriki niki jan jane Alas Mentaok," (di cerita kethoprak, ya disini aslinya Alas Mentaok). Secara tersirat, ada keyakinan dari Mbah Parwidi, bahwa tempat ini erat kaitannya dengan awal terbentuknya Kerajaan Mataram. Nama Keraton Cempolo Wati yang gagal dibangun adalah 'sanepan', boleh ditafsirkan bebas sesuai arah angin yang diyakini masing-masing

Salah satu titik spritual penting di wilayah Kalurahan Giripurwo (giri/ gunung, purwa/awal) adalah Petilasan Gebangkara. Di tempat ini, tumbuh Pohon Gebang yang telah berusia ratusan tahun, tetapi tidak bisa tumbuh besar. Uniknya setiap orang yang menghitung pelepahnya pasti berbeda beda jumlahnya. Konon cerita Sultan HB IX sering berkunjung ke tempat ini . Menyamar sebagai rakyat biasa dengan menaiki sepeda motor tua. Oleh pemangku adat Kalurahan Giripurwo, cerita Gebangkara telah diimplementasikan dalam bentuk Sendratari Kolosal Gebangkara


Telaga Palgading termasuk masih alami. Belum ada semenisasi atau pengerukan dasar telaga. Keadaan ini yang justru membuat telaga masih mampu menyimpan air di musim kemarau. Meskipun, dengan pengaruh perkembangan jaman, perubahan iklim dan berkurangnya vegetasi di kawasan penyangga, debit air telaga di musim kemarau memang menyusut. Tapi, Palgading tidak pernah kering secara total. Kerontang seperti nasib ratusan telaga-telaga yang lain di Gunungkidul saat ini

"Kula nyuwun, Telaga Palgading ampun dibangun ngangge semen. Semen niku mateni toya. Pun...,ngeten niki mawon sampun sae. Nak saget malah ditambahi wit-witan mawon ben tambah asri," ( saya meminta, Telaga Palgading jangan dibangun dengan semen. Semen itu mematikan sumber air. Sudah..., begini saja sudah bagus. Kalau bisa malah ditambahi pohon-pohon biar tambah asri), ujar Mbah Prawidi yang diamini oleh Pak Dukuh dan warga yang lain

Kearifan lokal memang menjadi border terakhir dari upaya-upaya melestarikan alam. Adat istiadat terkait Upacara Merti Telaga Palgading sampai saat ini masih dilestarikan oleh warga Padukuhan Tlogowarak. Di ujung selatan telaga, terdapat gua/luweng berisi air yang terhubung langsung dengan telaga. Menariknya, gua ini dipenuhi dengan berbagai jenis ikan. Meskipun begitu, warga tidak ada yang berani mengambil jika ikan-ikan masih berada di dalam gua

"Simbah dereng ngulungake, mangkih ndak kenging walat," (Simbah belum memberikan, nanti bisa terkena bala ) begitu yang mereka yakini. Beda cerita,   jika ikan sudah keluar ke telaga,  maka sudah boleh ditangkap dan dikonsumsi. Bukankah Ini adalah praktek kearifan lokal terkait sustainable diversity?. Tanpa retorika teori yang muluk-muluk, secara sederhana, leluhur sudah  mempraktekan ini dengan laku yang nyata

"Tiyang sakniki mboten damel telaga, awake dewe kantun ngangge lan manfaatke, nanging ampun ngasi lali kewajibane,  ngrawat, amrih lestari kagem anak putu (Orang sekarang tidak membuat telaga, kita hanya tinggal memanfaatkan, tapi jangan sampai lupa dan lalai. Kewajiban kita adalah merawat, agar telaga lestari untuk generasi),  --Mbah Parwidi Wiyono, Juru Kunci Telaga Palgading----*






Lebih baru Lebih lama