Ikan Sidat,
Ikan Keramat Penjaga Sumber Mata Air
Oleh: Edi Padmo
Foto ikan sidat di sumber planangan, diangkat untuk dikembalikan usai pengerukan
Secara morfologi, tubuh sidat berbentuk panjang, bersisik lembut, dan dilapisi dengan lapisan lendir yang tebal. Jenis Ikan ini mempunyai kemampuan untuk mengambil oksigen langsung dari udara, dan mampu bernafas tidak hanya dengan insang, tapi dengan seluruh bagian kulitnya.
Di Gunungkidul, ikan sidat biasa disebut pelus atau gatêng. Berbagai cerita keramat atau mistis banyak dipercaya melingkupi keberadaan jenis ikan ini. Dari cerita yang sering kita dengar di desa-desa, ikan pelus sering dikaitkan sebagai penunggu atau 'danyang' di sebuah sumber air, belik, sendang, sungai atau kedhung.
Keberadaanya memang sangat erat kaitannya dengan sumber air. Bahkan masyarakat dulu yang masih menggunakan sumber air untuk keperluan sehari hari, selalu menghormati, menjaga, dan tidak berani mengganggu atau mengambil ikan sidat yang sering menampakan diri di sumber air.
Dalam perkembangan jaman, kekeramatan ikan sidat ini akhirnya meluntur. Terlebih ketika masyarakat tahu bahwa sidat ternyata jika dikonsumsi memiliki kandungan gizi dan protein yang sangat tinggi. Dipercaya juga mempunyai banyak khasiat untuk kesehatan. Perburuan ikan pelus dengan berbagai cara oleh masyarakat akhirnya membuat keberadaan ikan jenis ini sekarang mulai langka.
Mitos atau cerita keramat pelus akhirnya meluntur oleh perkembangan jaman. Dengan maraknya perburuan, banyak orang tak lagi menghiraukan pantangan atau kekeramatan suatu sumber air. Bagi para pemancing sidat, semakin besar ikan yang didapat maka prestise akan semakin tinggi.
Maraknya perburuan inilah yang mengakibatkan hilangnya sidat sidat besar penghuni sumber air. Hingga saat ini, keberadaan pelus besar di suatu sumber air kini hanya tinggal cerita. Seiring dengan mengeringnya atau terbengkalainya sumber-sumber air yang ada.
Dari berbagai kajian keterkaitan sidat dan sumber air ternyata memiliki hubungan yang sangat erat. Sidat mempunyai fungsi terhadap keseimbangan lingkungan, terutama kelestarian sumber-sumber air yang berada di daerah hulu.
Ikan sidat memang mempunyai sifat alamiah untuk berenang menuju ke hulu mencari sumber-sumber atau mata air. Secara alamiah, sidat suka masuk ke mata air, termasuk urat urat atau lubang lubang mata air, sehingga jalan air yang tertutup lumpur akan terbuka dan lancar.
Ditilik dari segi bio ekologi, sidat membantu menjaga pori/struktur rembesan mata air agar selalu terjaga, tidak tersumbat secara alami. Hal ini karena sifat alamiah ikan sidat yang hidup di lubang.
Keadaan alam di Kabupaten Gunungkidul sebetulnya mempunyai potensi berkembangnya ikan sidat. Secara geografis, di Gunungkidul banyak aliran sungai bawah tanah yang bermuara ke laut. Ikan sidat adalah jenis ikan yang memijah (menetaskan telurnya) di perairan air asin/payau dan setelah menetas, indukan akan kembali berenang ke hulu ke tempat asalnya.
Berkurangnya populasi ikan sidat di Gunungkidul, juga dipengaruhi oleh faktor alami, yaitu seleksi alam. Setelah telur menetas di muara laut/payau, anakan sidat (glasel), ini sedikit yang bisa kembali ke air tawar dengan selamat. Sementara proses pembesaran ikan sidat di alam juga tergolong lama.
Kondisi di lapangan, sidat indukan yang mendiami habitatnya yakni sumber air dan lainnya sekarang ini sudah sangat berkurang. Di Gunungkidul, perburuan tak terkendali akhirnya menyebabkan indukan atau ikan sidat besar sudah banyak yang berkurang atau bisa dikatakan punah. Hanya beberapa sumber air di Gunungkidul yang masih ada ikan sidat. Contoh sumber air Ponjong di Kapanewon Ponjong dan sumber air Lo Gantung di Kapanewon Semin. Bukti nyatanya dua sumber air yang tersebut di atas sampai saat ini airnya masih lestari dan digunakan oleh masyarakat sekitarnya.
Dalam tulisan Pentingnya Mitos Untuk Menjaga Alam di resan.id, disebutkan bahwa, cerita rakyat, folklor, mitos yang saat ini sering dianggap mistis, sebetulnya adalah penjaga. Aturan tak tertulis yang ditaati selama ratusan tahun yang faktanya sangat efektif ketika masih 'diugemi' (ditaati) oleh masyarakat. Lunturnya kepercayaan terhadap mitos adalah awal dari kerusakan alam yang semakin tak terkendali.