Purwaduksina

Purwaduksina
Oleh: Edi Padmo


resan.id---Peradaban besar dalam sejarah manusia di seluruh penjuru dunia bisa dipastikan berawal dari sumber air. Entah itu sungai, danau atau yang lain. Sumber daya air menjadi elemen penting sebagai modal dasar membangun sebuah kehidupan sosial yang kemudian berkembang menjadi masyarakat komunal.

Sebut saja Mesopotamia yang sampai saat ini dipercaya sebagai peradaban tertua di dunia. Peradaban ini dimulai pada milenium ke 4 sebelum Masehi di Lembah Hilal yang terletak diantara dua aliran sungai Eufrat dan Tigris. Tanah subur, air yang cukup untuk irigasi pertanian, akhirnya menjadi modal bagi suku-suku yang sebelumnya nomaden untuk membangun peradaban besar seperti Babylonia.

Peradaban Mesir Kuno yang mampu membangun Piramida yang megah, juga tak bisa lepas dari peran Sungai Nil. Di Asia Selatan, Sungai Indus menjadi modal dasar terbangunnya peradaban India kuno. Sementara di wilayah Asia, bangsa Cina Kuno mengawali peradaban mereka di sepanjang aliran Sungai Yatze atau Sungai Kuning.

Demikian juga di Indonesia, negara kita dikenal sebagai negara tropis. Keberadaan sumber air bisa dikatakan sangat melimpah. Potensi ini yang akhirnya menjadikan nenek moyang kita membangun peradaban berbasis agraris. Sejarah peradaban manusia purba hingga kerajaan-kerajaan besar di Indonesia, tak bisa lepas dari keberadaan sungai sebagai urat nadi utama kehidupan masyarakatnya.

Dengan konteks yang sama dalam lingkup yang berbeda, keberadaan sumber air juga menjadi acuan utama keberadaan setiap desa, dusun, kampung yang ada di setiap daerah. Sumber air adalah tempat pertama yang dijadikan 'jujukan' atau tempat untuk memulai kehidupan sosial komunal masyarakat di sekitarnya Sumber air juga sangat erat kaitannya dengan sejarah asal usul suatu tempat.

Alkisah, di suatu masa purwa, dua orang pengembara yang bernama Kyai Cikal Bakal dan Nyai Cikal Bakal sedang menjalani 'laku tirakat'. Mereka mengembara melakukan perjalanan untuk 'ngupadi' (mencari) tempat yang sekiranya akan memberikan masa depan yang lebih baik buat anak turunnya nanti.

Dalam pengembaraannya, banyak halangan yang harus ditemui. Kerasnya alam, binatang buas dan makhluk tak kasat mata menjadi tantangan. Tak kenal lelah, dengan keyakinan tentang sebuah harapan baik, mereka terus meneruskan perjalanan. Hingga pada saatnya mereka berhenti pada suatu tempat yang teduh oleh pohon-pohon besar. Air bening lahir dari sela-sela akar pohon, mengalir membelah tanah yang gembur dan subur.

Terkesima dengan keadaan alam yang sejuk dan asri, Kyai Cikal Bakal dan Nyai Cikal Bakal memutuskan untuk beristirahat sejenak. Terbawa oleh keadaan yang damai, udara yang sejuk dan angin yang bertiup sepoi-sepoi, diiringi suara burung yang berkicau, mereka kemudian terlelap. Dalam tidurnya, Kyai dan Nyai Cikal Bakal bermimpi, mendapat 'wisik' atau pesan, bahwa apa yang selama ini mereka cari, tak lain dan tak bukan adalah tempat ini.

Terbangun dengan gugup, mereka kemudian mencuci muka dan minum dari mata air dibawah pohon resan. Dingin dan segarnya air murni membuat pikiran mereka menjadi 'banar' (terang), lalu Kyai Cikal Bakal berkata kepada istrinya..

"Ati lan pikiranku saiki dadi banar, wis ayo gek do sumeleh kersaning Gusti, mapan ana ing papan iki. Ayo do diteruske olehe ngupadi kamulyan, muga-muga ana ing papan iki besuke bakalan dadi reja kanggo anak putu,".

(hati dan pikiranku sekarang menjadi terang, mari kita pasrah kehendak Tuhan untuk membangun rumah di tempat ini. Kita teruskan untuk berusaha mencari kemuliaan. Semoga nantinya, tempat ini menjadi makmur bagi anak cucu).

Sendang Planangan


Minggu, 29 Oktober 2023, Resan Gunungkidul bersama Komunitas Kadang Sumber Banaran, dan warga sekitar mengadakan agenda normalisasi Sumber Planangan. Sebuah belik/sendang yang berada di Padukuhan Banaran 5, Kalurahan Banaran, Kapanewon Playen, Gunungkidul.

Konon cerita, dulu Sendang Planangan airnya digunakan oleh masyarakat dari tiga padukuhan, yakni Banaran 4, Banaran 5 dan Teguhan.

"Belik Planangan menurut buku sejarah Desa Banaran, ada sebelum Kalurahan Banaran terbentuk," kata Sularto, salah seorang warga yang rumahnya dekat dengan Belik Planangan.


Penampakan Belik dan Sendang Planangan memang tampak sangat tua dan 'arkais'. Pada batu penyusun 'dam' belik, bagian pojok terlihat seperti melengkung. Menurut warga, hal itu terjadi karena batu 'dam' sedikit demi sedikit tergerus karena tergesek 'timba' (tempat air) saat warga mengambil air. Dari situ dapat dibayangkan berapa ratus tahun Belik Planangan diambil airnya oleh warga di sekitarnya.

Belik Planangan dan bagian sendang (pemandian) dipisahkan oleh resan (pohon) jambu klampok yang penampakannya tak kalah purwa. Pada bagian tepi sendang dibatasi dengan batu lempengan utuh yang dipasang sedemikian rupa sehingga menjadi dinding sendang. Di bagian depan, ditata batu-batu lempeng (tlatar) yang berfungsi sebagai lantai tempat mandi atau mencuci.


Dari laku perjalanan Resan Gunungkidul, memang kami banyak mengamati bahwa di banyak sumber air ada pemisahan tempat antara titik keluar air (tuk) dan fungsionalnya (pemandian, tempat mencuci dll). Pemisahan Ini kami simpulkan sebagai sebuah kearifan lokal yang sangat tepat. Dimana, titik air keluar akan tetap terjaga dari kemungkinan tercemar kotoran sewaktu sumber digunakan oleh aktivitas manusia (sabun, lumpur, dll).

"Konon cerita, kata 'planangan' berasal dari kata 'planthangan' atau kayu yang dibentangkan diantara dua pohon. Fungsinya untuk mengikat kain 'sabukan', kain panjang yang digunakan sebagai sabuk oleh ibu-ibu yang baru melahirkan. Versi lain berkata, 'planangan' berasal dari kata 'lanang' (laki laki) misterius terkait cerita Mbah Danyang," kata Sularto.


Setelah bergulat dengan tanah dan lumpur, pada kedalaman sekitar 4 meter, akhirnya tuk Belik Planangan terbuka kembali. Ditandai dengan ditemukannya dua ekor belut berukuran jempol kaki dan tangan di dasar belik.

"Lanang wedok iki welute (jantan dan betina ini belutnya)," teriak Gayud, teman Resan yang bertugas di dalam belik.

Dengan do'a dan harapan baik yang kami panjatkan ke langit. Sepasang belut jantan dan betina ini kami lepaskan kembali ke dalam belik. Ikan belut atau sidat memang dikenal mempunyai peran dalam menjaga sumber air. Insting alamiahnya membuat ikan jenis ini selalu berupaya mencari jalan air (tuk), sehingga air tidak tersumbat.


Agenda normalisasi Belik Planangan selesai menjelang sore. Sambil melepas lelah, kopi dan asap rokok menemani kami mengobrol. Dari proses seharian yang telah dilalui, kami berandai-andai mencoba menerjemahkan arti kata 'purwaduksina' (asal muasal) yang menjadi judul tulisan ini.

Belik Planangan memang bukan awal dari peradaban besar seperti Mesopotamia, Mesir, Indus atau Sungai Kuning. Namun sejatinya, tempat tempat seperti ini mempunyai arti hakekat yang sama. Belik Planangan dan ratusan bahkan mungkin ribuan sumber air yang tersebar di seluruh wilayah Gunungkidul adalah awal, asal muasal 'purwaduksina' dari kehidupan masyarakat kita sekarang. Situs-situs 'arkais' yang sekarang sudah banyak dilupakan karena kemudahan jaman. Tempat tempat sepi yang dianggap kotor, angker, dan tak lagi berharga.




Lebih baru Lebih lama