Pentingnya Mitos Untuk Menjaga Alam
Oleh: Edi Padmo
Kunjungan Mas Inu dan tim memang sengaja kami terima on the spot di lokasi sumber air Sendang Mrunut, di Padukuhan Banaran 5, Kalurahan Banaran, Kapanewon Playen, Gunungkidul. Sendang Mrunut ini, setelah puluhan tahun tertimbun tanah, dua minggu yang lalu oleh teman-teman Resan Gunungkidul dan warga sekitar di normalisasi atau digali kembali.
Sendang Mrunut, kami rasa adalah tempat yang tepat ketika mengobrolkan berkaitan dengan alam, lingkungan dan tema lestari (sustainable). Dengan pohon resan beringin yang melindunginya sebagai 'heritage' hidup, Sendang Mrunut menyimpan banyak kisah dan cerita, bagaimana dulu sumber air ini digunakan oleh warga untuk mencukupi keperluan air sehari hari. Tempat Ini adalah salah satu bukti tentang ikatan sejarah peradaban yang kuat antara manusia dan sumber air sebagai sumber kehidupan mereka. Meski saat ini, karena perkembangan jaman pemahaman itu lambat laun mulai meluntur.
Obrolan menjadi menarik ketika kami membahas tentang bagaimana menjaga alam dengan budaya lokal masyarakat. Ini berdasar pemahaman kami bahwa gerakan Resan Gunungkidul adalah gerakan konservasi berbasis masyarakat. Bagaimana kami berusaha untuk belajar memahami kembali budaya kami sebagai akar (root), mulanira (awal) peradaban.
Berbareng juga dengan strategi pendekatan budaya sebagai pintu masuk ke masyarakat. Kemudian secara pararel berusaha bersama-sama membangun kesadaran masyarakat (kesadaran personal yang kemudian menjadi kesadaran komunal). Harapannya, masyarakat akan menjadi subyek atau pelaku langsung dalam aksi menjaga lingkungannya masing-masing.
Meski Mas Inu ini termasuk orang kota dengan pemikiran modern, tapi ada beberapa poin yang kami sepakati. Salah satu yang mendasar adalah pentingnya menjaga mitos, folklore, legenda atau cerita rakyat untuk menjaga alam.
Penjagaan ini akhirnya menjadi sebuah budaya yang berwujud menjadi tradisi, ritual, atau upacara adat yang dilakukan secara turun temurun. Lokasi mata air (tuk, sendang, belik, beji, kedhung dll), beserta pohon besar (resan) penjaganya sangat dihormati, sehingga keberadaan air bisa lestari dan selalu terjaga.
Orang dulu selalu memberi 'wewaler' atau pantangan agar hati-hati dalam bertindak atau bersikap saat berada di dekat pohon besar yang dikeramatkan. Dikatakan bahwa pohon besar ada 'penunggunya', 'dhanyang', atau makhluk ghaib yang menghuninya. 'Wewaler' itu sebenarnya adalah sebuah 'tekhnologi' pada zamannya. Dengan kepatuhan masyarakat untuk tidak 'nerak wewaler' (melanggar), maka kelestarian pohon-pohon besar beserta sumber air yang dijaganya akan aman. Jangankan merusak atau menebang, masyarakat akan berhati-hati, memperlakukan dengan baik dan menghormati tempat-tempat seperti ini.
Hal ini, juga sangat terkait dengan mata pencaharian masyarakat yang sejak dulu adalah petani. Korelasinya, pohon besar adalah penjaga ekosistem alam, tanah dan siklus hidrologi (air) di dalamnya. Dunia pertanian (pangan) tentu terkait dengan tanah dan air yang menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Air menjadi salah satu unsur sumber kehidupan yang mendasar. Konsep leluhur tentang menjaga keseimbangan alam, dalam ikatan budaya merawat, menjaga memberi dan menerima ini adalah jawaban bagi dunia modern terkait dengan isu krisis pangan
Manusia memang tidak bisa hidup tanpa alam. Ikatan hayat yang begitu dekat antara manusia dengan air, tanah, hewan, pohon beserta alam sebagai ruang hidup bersama, akhirnya menjadi suatu hubungan yang bersifat batin (spritual). Saling ketergantungan diantara elemen-elemen itu menciptakan sebuah ikatan yang harmonis dan telah berlangsung lama
Orang Jawa mengenal konsep 'jagad cilik' dan 'jagad gede', dalam bahasa sekarang mikro dan makrokosmos. 'Jagad cilik' dipahami sebagai diri manusia sendiri sebagai ciptaan Tuhan yang merupakan 'miniatur' dari 'jagad gede' (alam semesta yang luas sebagai ruang hidup bersama).
Konsep ini jika dipahami secara lebih dalam adalah pemahaman orang Jawa tentang sebuah 'balance' (keseimbangan). Tentang peran manusia yang sentral dalam tugasnya sebagai 'khalifah' di muka bumi. Peran sentral yang dimaksud disini bukan sebatas menempatkan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek, tapi lebih bagaimana manusia harus memanfaatkan alam dengan cara yang bijaksana demi kelestarian dan kehidupan generasi selanjutnya.
"Jadi penting nih, mengumpulkan, mengarsipkan dongeng dan mitos-mitos yang kita miliki. Ini adalah sebuah strategi yang harus dilakukan agar kita bisa bertahan sebagai sebuah bangsa yang mempunyai identitas,"
"Kesadaran, keyakinan besar banyak diawali dengan sebuah dongeng. Dengan mengarsipkan, mendongengkan, serta menceritakan kembali dongeng dan mitos yang kita miliki, maka hal itu akan mempersempit jarak, mendekatkan kita kembali kepada nilai-nilai moral identitas diri. Value bisa tercapai ketika dijalani terus menerus agar menjadi suatu kebiasaan,"
Dua kalimat Mas Inu tadi menutup obrolan kami. Dan semesta sepertinya menyambut, ditandai dengan kicauan burung di pohon resan beringin tempat kami berteduh.