Refleksi Perubahan Iklim untuk Menggugah Kesadaran Semesta




Oleh: Ahmad Wardhana 

.             foto: ilustrasi amanat.id



Resan.id-- Terdapat sebuah ayat di Al-Qur`an yang patut menjadi renungan bagi kita semua di masa kini. Ayat ini begitu lekat dengan isu kerusakan lingkungan hidup yang sedang dan sangat mungkin akan terus kita alami di masa mendatang. Allaa ofh SWT berfirman,

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga akibatnya Allaah mencicipkan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali (Ar Ruum (30) ayat 41)"

Para ulama klasik masa lalu menafsirkan ayat ini dengan sangat terbatas. Hal ini menjadi maklum adanya, karena keterbatasan pengetahuan serta belum majunya sains dan teknologi pada masa itu. Kerusakan yang terjadi, maupun penyebabnya, yakni kemaksiatan manusia, dimaknai sebagai sesuatu yang personal atau lokal.


Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, kita di masa kini tahu persis bahwa ayat yang hadir di persada dunia lebih dari seribu tahun yang lalu ini, justru menggambarkan keadaan manusia sekarang yang jumlahnya mencapai 8 miliar jiwa, yang hidup bersama di satu planet bernama bumi.

Kata 'al-fasaad' yang makna ringkasnya adalah kerusakan, dimaknai sebagian ulama klasik dengan arti spesifik seperti kemusyrikan, pembunuhan Qabil terhadap Habil, pembunuhan di antara manusia, penguasa yang mengambil paksa kapal di lautan, dan lain sebagainya.

Tetapi juga terdapat makna yang lebih umum, yang dinilai lebih dapat mencakup makna 'al-fasaad',  yakni sebagai lawan dari kata 'ash-shalah' yang berarti manfaat atau berguna. Atau dengan kata lain, 'al-fasaad' adalah hilangnya nilai kemanfaatan atau kegunaan. Ar-Raghib al-Ashfahaani dikutip dalam Tafsir al-Mishbah, mendefinisikan al-fasaad sebagai keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak, fisik maupun mental, jasmani maupun rohani.

Prof. Quraish Shihab, setelah menelaah berbagai ayat di Al-Qur`an yang menyebut kata al-fasaad, kemudian memperkaya definisi al-Ashfahaani dengan pemaknaan dari al-Biqaa’i tentang al-fasaad, yakni sebagai kondisi kekurangan dalam segala hal yang dibutuhkan makhluk.

Sementara itu, Ibnu ‘Aasyuur, ulama Tunisia yang wafat tahun 1973, menurut Tafsir al-Mishbah, memaknai ayat di antaranya dengan mengatakan bahwa alam raya telah diciptakan Allaah dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Akan tetapi, manusia kemudian melakukan kegiatan buruk yang merusak, sehingga terjadi kepincangan dan ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam.

Akibatnya, kitalah sendiri yang merasakan dampaknya, karena di antara satu makhluk dengan makhluk lainnya di bumi ini, hidup di rumah besar bersama. Kerusakan pada satu titik, suatu saat nanti, pasti akan berefek ke titik yang lain, sekalipun berada di belahan planet yang berbeda.

Pertanyaannya, apa yang sebenarnya kita lakukan sehingga terjadi kerusakan lingkungan? Selama dua ratus tahun terakhir, sejak ditemukannya mesin uap, listrik, dan konversi energi dari batubara, minyak bumi, dan gas, ternyata meningkat pula kesejahteraan kita sebagai umat manusia. Tetapi, di sisi yang lain, meningkat pula kerusakan lingkungan hidup di sekitar kita.


Pada tahun 1900, rata-rata usia harapan hidup manusia di seluruh dunia hanya sekitar 31 tahun. Sejak 2020, angkanya naik menjadi 73 tahun.

Jumlah penduduk dunia juga sama. Pada mulanya, untuk mencapai jumlah dari 1 miliar penduduk menjadi 2 miliar penduduk, manusia membutuhkan 123 tahun, yakni dari tahun 1804 ke tahun 1927. Tetapi sesudah 1927, pertumbuhan 1 miliar berikutnya bisa dicapai selama 33 tahun (3 miliar pada 1960), 14 tahun (4 miliar pada 1974), 13 tahun (5 miliar pada 1987), dan sejak 1987 setiap 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar orang (6 miliar pada 1999 dan 7 miliar pada 2011). Pada tahun 2022, 11 tahun kemudian, penduduk bumi mencapai 8 miliar jiwa.

Rata-rata umur manusia yang naik lebih dari dua kali lipat sejak 1900 dan pertumbuhan jumlahnya yang semakin cepat menunjukkan bahwa anugerah ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh positif pada kehidupan manusia, yakni memberikan kesempatan pada manusia untuk berusia lebih panjang dan berkembang lebih banyak. Produksi vaksin, obat, dan pangan lebih cepat dan banyak, sementara perkembangan transportasi dan media informasi membuat cakupan ketiganya (vaksin, obat, dan pangan) semakin terjangkau banyak orang.


Tetapi, capaian luar biasa ini ternyata diimbangi dengan kerusakan lingkungan di seluruh penjuru bumi. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2023 di antaranya menyatakan bahwa:
aktivitas manusia, terutama melalui emisi gas rumah kaca, tanpa keraguan telah menyebabkan pemanasan global. 

Emisi timbul dari penggunaan energi yang tidak berkelanjutan, penggunaan lahan dan peralihan fungsi lahan, gaya hidup dan pola konsumsi, produksi lintas wilayah, antar dan di dalam negara, serta di antara individu. Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah mempengaruhi banyak cuaca dan iklim ekstrem di setiap wilayah di seluruh dunia.

Dampaknya merugikan kepada ketahanan pangan dan air, kesehatan manusia, ekonomi dan sosial, serta kerugian dan kerusakan terkait lainnya terhadap alam dan manusia. Komunitas rentan yang secara historis berkontribusi paling kecil terhadap perubahan iklim saat ini akan terpengaruh secara tidak proporsional.

Apa maksud dari kalimat terakhir ini?

Kita yang berada di perkotaan, yang menikmati listrik 24 jam, yang dengan bebas membakar bahan bakar minyak untuk berkendara, yang setiap saat dapat mengakses internet untuk media sosial dan berbelanja online, adalah kontributor aktif emisi gas rumah kaca.

Tetapi siapa yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim? Siapa yang paling menderita mengalami dampak pemanasan global?


Jawabannya adalah, bukan kita!

Mereka yang paling rentan dan paling menderita adalah saudara kita di pesisir yang terancam risiko kenaikan air laut. Mereka adalah saudara kita yang bahkan tak pernah genap 24 jam mendapat akses listrik. Mereka adalah saudara kita yang harus berjuang banting tulang hanya untuk sekian liter bahan bakar minyak. Mereka adalah saudara kita di pedesaan, lokasi terpencil, dan hidup di pulau-pulau kecil, di seluruh penjuru Indonesia dan dunia.

Ketika dampak pemanasan global dan perubahan iklim menghantam seluruh permukaan bumi tanpa kecuali, kita punya privilege mitigasinya, dengan pengetahuan, teknologi, dan prioritas kebijakan negara. Sedangkan mereka saudara kita yang saya sebutkan tadi, yang bahkan mungkin tak mengerti apa itu perubahan iklim, yang mereka rasakan adalah semakin menderita dalam kehidupan sehari-harinya.

Jangan-jangan, kita ini sedang menuju pada kondisi yang disangkakan para malaikat kepada kita, di awal penciptaan leluhur kita,

"Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (Al-Baqarah (2) ayat 30)"


Jangan-jangan cara kita merusak dan menumpahkan darah tak lagi dengan peperangan, tetapi dengan gaya hidup dan pola konsumsi yang tanpa kita sadari mengeksploitasi bumi dengan ganas, sembarangan, dan tidak bertanggung jawab.

Jangan-jangan kita semua sebenarnya sedang berlayar dengan menggunakan kapal raksasa bernama planet bumi. Kita arungi samudera takdir ini dengan tertatih-tatih karena kapal kita kelebihan beban sehingga sedang menuju kehancurannya. Maka untuk menyelamatkan diri kita masing-masing, tanpa kita sadari, kita sedang melemparkan saudara-saudara kita yang rentan terhadap badai dampak perubahan iklim ke tengah lautan.

Itukah yang sedang kita lakukan? Na’dzubillaah, tsumma na’udzubillaah.

Di dalam ayat tentang kerusakan lingkungan tersebut, terdapat frasa yang menarik,

"...sehingga akibatnya, Allaah mencicipkan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali" (Ar Ruum (30) ayat 41)"


Kata mencicipkan dan sebagian bermakna bahwa bencana yang kita alami sekarang adalah pelajaran yang masih ringan. Sentilan yang masih bisa kita mitigasi, peringatan yang masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Inilah rahmat Allaah Ta’aala kepada kita, karena masih memberikan waktu untuk berubah secara bersama-sama. Tak lagi menggunakan listrik secara sembarangan; tak lagi membakar bahan bakar minyak, kecuali memang dibutuhkan; tak lagi bertindak business as usual, yang jelas-jelas berkontribusi pada kerusakan lingkungan hidup.

Tetapi ingat, frasa mencicipi dan sebagian juga bermakna bahwa tanpa kita melakukan langkah mitigasi yang berkeadilan, maka suatu saat, cepat atau lambat, dampak kerusakan lingkungan akan menghantam kita semua dengan gelombang yang dahsyat. Pada masa itu tak ada lagi toleransi karena kita telah lama mengabaikan pendidikan kasih sayang dari Allaah. Teguran keras akan hadir dengan meluluh-lantakkan kita semua, seakan-akan lingkungan yang selama ini kita kuras kekayaannya, sedang membalaskan dendamnya.


Sejak Ramadlan tahun ini, mari tanamkan di benak dan jiwa kita, bahwa kita adalah bagian dari semesta yang diberi kelebihan memahami sains dan teknologi. Untuk memelihara lingkungan demi kesejahteraan; bukan atas nama kemakmuran yang kemudian menguasai, mengeksploitasi, dan menguras lingkungan secara serampangan tanpa mempedulikan makhluk lain yang hidup bersama dengan kita di semesta yang sama bernama bumi.

Pastikan selalu bahwa wawasan lingkungan hidup senantiasa menyala di dalam diri kita semua.


*Ahmad Wardhana adalah Mahasiswa S3 Ilmu Politik FISIPOL UGM, juga merupakan Co-Founder Institute for Sustainable Energy & Food Studies (ISEF). Ia juga menjadi Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus Lembaga Pengembangan Pertanian PWNU DIY*




Lebih baru Lebih lama