Berawal pada pengenalan seseorang dari teman yang berbincang kepadaku tentang Budi Klieta. Sehingga kami pun mulai merencanakan sebuah pertemuan pada/dengannya.
Ialah Setiabudi Laupada, S.H., M.H., atau yg kerap di sapa Pak Budi, adalah seorang dosen Sosial Politik "Hukum Tata Negara" yang hendaknya membangun kesadaran massa pada salah satu kampus yang berada di Tanah Alor, NTT. Ruang akademisi tersebut yaitu Universitas Tribuana Kalabahi.
Sebagai seorang bapak kepala rumah tangga bagi keluarganya, ia terlahir dari orangtua petani. Oleh karenanya, semasa kecil ia sering ikut bapak/ibunya pergi ke sawah untuk membantu tanam padi dan ke ladang bercocok tanam sayur-sayuran. Hal ini yang menjadi awal dari percikan bara sebelum menjadi api, ia pernah menyampaikan bahwa "kita hidup dengan memakan padi, umbi-umbian, buah-buahan dan sayur-sayuran, itu semua didapatkan dengan kita menanam".
Sejak ia kecil, himpitan ekonomi membuat keluarganya sulit. Mereka tinggal di tempat yang terjal, sehingga mereka harus mengeluarkan daya yang lebih untuk bertani. Belum lagi, saat itu terdapat suatu regulasi dari Aparatus Desa untuk mulai mewajibkannya masyarakat bertani kemiri. Jelas, mungkin tanpa sosialisasi yang berkelanjutan serta pelatihan SDM yang cukup akan membuat warga sulit pada awalnya. Meski seiring berjalannya waktu, pengalaman akan membuatnya terbiasa dan mengerti pada akhirnya. Kemiri telah menghasilkan pangan bagi mereka hidup beserta hampirnya sandang dan kebutuhan Pendidikan anak-anaknya terpenuhi.
Dahulu, katanya tempat itu kosong atau tandus, namun kini sudah berubah menjadi rimbunnya tanaman kemiri, yang tentunya sangat berguna bagi penghidupan masyarakat serta bermanfaat bagi keberlangsungan ekosistem di sana dan di masa yang akan datang.
"Pertahankan apa yang kita punya, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dan bagikan apa yang kita miliki, sesetaranya kita sebagai sesama manusia yang setianya harus bisa saling menghidupi hidup sehidup-hidupnya"
Beranjak dari pertanian, Pak Budi pergi menimba ilmu di kota Pahlawan. Semasa beliau kuliah di Surabaya, senantiasa ia aktif mengikuti studi, terutama kajian diskusi atau seminar nasional tentang Lingkungan. Walaupun pada waktu itu, Budi Klieta beserta rekannya belum begitu konsen pada pembahasan materi, sehingga narasumber yang berasal dari India tersebut menunjukan amarah, sebab mengetahui bahwa NTT adalah salah satu daerah yang besar kemungkinannya akan paling terdampak akibat kerusakan lingkungan oleh pelbagai faktor dan kerakusan. Ternyata benar saja, ucapannya sudah dirasakan jauh sebelum saat ini.
Singkat cerita, setelah ia pulang ke kampung halaman. Budi Klieta mulai masif mencari tahu informasi tentang penanaman dan mulai mempraktikannya sedikit demi sedikit, perlahan namun tak henti. Walaupun kesadaran Budi Klieta baru hanya sekedar penananam, dan terbaca belum tertata rapi; melihat mulai dari pemilihan bibit berdasarkan kecocokan lingkungan serta lahan maupun perawatannya. Hal terpenting baginya adalah tanam dan menanam.
"Namun benar, barangkali kepada setiap yang memiliki pengetahuan untuk kemudian mempraktikannya. Maka itulah kebudian luhur yang senyatanya di bumi manusia"
Lalu pada akhirnya, ia mulai menerapkan dialogis-kritis di kampus tempat ia mengajar mengenai dasar pentingnya menanam. Melalui pelbagai materi yang disampaikan, mulai dari mengenalkan metode-metode, pemanfaatan, kegunaan, bahaya-bahaya yang mengancam, perawatan, lain-lain dan tidak hanya sebatas itu saja, ia juga mengharuskan mahasiswanya melakukan tindak langsung yakni aksi langsung menanam pohon sebagai nilai akhir dari Mata Kuliah yang di tempuh. Begitulah cara yang ia lakukan untuk membangun kesadaran para mahasiswa/i-nya agar memiliki keberpihakan, rasa dan menjadikan penting untuk melakukannya.
Budi Klieta pernah berkata "Kalau hanya sekedar sadar mungkin sudah banyak, tapi kalau untuk melakukannya dan menganggap penting, belum tentu"
Dan kini ia sedang berupaya untuk bagaimana hal-hal seperti ini menjadi penting di mata anak-anak didiknya. Pak Budi Klieta juga sering bilang kepada mahasiswanya ketika sedang mengajar di kelas (bahwa salah satu bentuk aksi nyata kita menerapkan nilai-nilai Pancasila)
adalah dengan menumbuhkan rasa kepedulian terhadap lingkungan, tapi tidak hanya sebatas itu saja, kita harus menanam pohon dan itu senantiasa ia ingatkan kepada mahasiswa/i-nya ketika sedang mengajar.
Ia juga sering melakukan evaluasi atas praktik penanaman yang telah dilakukannya, seperti memilih bibit yang cocok dan sesuai dengan lahan yang akan ditanami, metode-metode penanaman dan pengairan untuk tanaman tersebut hingga perawatan. Perlahan kesadaran serta kepedulian mahasiswa/i mulai tumbuh dan menjalar liar serupa gulma. Hingga pada akhirnya setiap dari kita yang menamam hasrat lestari akan merawat bumi pertiwi selayaknya kalian semua mencintai ibunya sendiri.
Teringat waktu sampai saat ini sudah berjalan selama tiga tahun, dan mereka sudah mempunyai lahan yang akan menjadi target penghijauan mereka selama lima tahun sebelum dilepaskan. Setelahnya, mereka akan mencari lahan yang lain untuk keberlanjutan aktivismenya.
Sekilas, inilah sepenggal kisah yang menghijaukan kehidupan dari Budi Klieta di tanah Alor. Bagi saya ia adalah salah satu orang yang menjadi inspirasi bagi banyak orang termasuk saya sendiri juga menjadi pemacu semangat untuk terus melanjutkan perjalanan ini dan saya sangat berterima kasih, karena bisa bertemu dengan orang sehebat beliau.
Semoga ini akan tetap menjadi konsistensi beliau dan teman-teman begitupun saya untuk kedepannya.
"dari Kepulauan Kasih Sayang. Kami telah melihat, telah merasakan dan telah mengenal bagaimana upaya praktik dari setiap orang yang sadar dan mengingatkan kesadaran serta mengenal bagaimana ancaman-ancaman yang akan datang menghampiri saat semua terdiam. Dari Jakarta yang sudah tidak lagi menjadi ibu kota, aku haturkan hormat pada kalian semua. Kalian yang dengan gagah telah/sedang membuktikan kegigihan kepada dunia, untuk semesta"
3 November 2024, NTT
oleh Bintang Sarolangun Jambi & Ssyifa Tentara Api