Harapan dan Kerinduan Masyarakat Padukuhan Pengos Terhadap Air Telaga Kepuh

Harapan dan Kerinduan Masyarakat Padukuhan Pengos Terhadap Air Telaga Kepuh


Resan.id-- Telaga Kepuh adalah salah satu telaga yang berada di Zona Pegunungan Seribu wilayah selatan Kabupaten Gunungkidul. Secara administratif, Telaga Kepuh masuk dalam wilayah Padukuhan Pengos, Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan.

"Dulu airnya awet, kalau musim kemarau memang surut, tapi tidak kering kerontang seperti sekarang" begitu kata Ratno Bayumurti, Kepala Dukuh Pengos.

Minggu (14/1/2024) kemarin, Resan Gunungkidul bersama warga dan pemuda peduli Telaga Kepuh mengadakan kerja bakti dan penanaman pohon di seputaran telaga. Ini sebagai sebuah upaya awal untuk mengembalikan ekosistem Telaga Kepuh agar airnya kembali awet.

Setelah kegiatan, kami banyak ngobrol dengan Pak Dukuh dan beberapa warga. Mereka kemudian banyak bercerita tentang memori komunal masyarakat yang masih membekas saat air Telaga Kepuh masih bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.

"Dulu, saya dan teman-teman sebaya paling seneng 'gogoh' (menangkap ikan dengan tangan) saat air telaga surut. Tepinya dulu banyak terdapat batu-batu untuk bersembunyi udang dan ikan", cerita Ratno.

Keadaan Telaga Kepuh saat ini memang jauh berbeda. Dasar telaga dikeruk dan dibuat dua level kedalaman yang berbeda. Dindingnya juga tak lagi batu alami, melainkan batu pasangan permanen dari semen. Pada musim hujan yang memang mundur akibat dampak El Nino, di awal tahun 2024 Telaga Kepuh masih kering kerontang. Rumput liar tampak tumbuh hampir merata menutupi dasar telaga.

"Ketika kemarau, telaga memang mengering. Padahal sebetulnya warga masih sangat membutuhkan air telaga untuk mencuci atau memberi minum hewan ternak," begitu kata Ratno saat disinggung pemenuhan kebutuhan air bagi warganya.

"Layanan PDAM memang sudah sampai ditempat kami, tapi sering tidak lancar. Secara geografis wilayah Padukuhan Pengos lebih tinggi, jadi air PDAM bisa mengalir sampai sini saat warga Padukuhan Singkil ke selatan sampai Pantai Baron sudah cukup menyalurkannya," ungkapnya.

Cerita soal air kemudian menjadi gayeng. Bagaimana saat musim kemarau, Padukuhan Pengos banyak mendapat bantuan droping air dari berbagai pihak. Bahkan, Ratno juga sempat menceritakan, kemarau panjang tahun 2023, banyak warganya terpaksa mengambil air di Telaga Blumbang Sari, sebuah telaga yang airnya masih tersisa dan terletak di Padukuhan Bacak, Kalurahan Monggol, Kapanewon Saptosari.

Mereka menggunakan bekas galon air mineral yang kemudian diangkut pakai sepeda motor. Air kemudian digunakan untuk keperluan mencuci dan memberi minum ternak-ternak warga.

"Lha gimana lagi, kalau beli satu tangki 140 ribu, itu kalau digunakan satu keluarga tidak sampai dua minggu sudah habis. Terus terang kami berat jika harus membeli air, rata-rata warga kami profesinya petani", ungkap Ratno.

Mundurnya musim hujan akibat El Nino dampaknya memang sangat dirasakan oleh warga Gunungkidul. Banyak petani mengalami gagal tanam, sehingga secara hitungan mereka sudah merugi di awal.

Untuk 'nyulam' (menanam kembali), para petani harus mengeluarkan modal lagi yang tidak sedikit. Itupun ibaratnya masih bermain dadu, karena cuaca saat ini hampir tidak bisa diprediksi sehingga ada potensi gagal panen.

"Gimana caranya ya, air telaga kembali awet, terus terang warga kami masih sangat membutuhkan air Telaga Kepuh. Upaya untuk itu, tentu kami akan sangat mendukung", ujar Ratno berharap.

"Memang harus ada upaya merevitalisasi Telaga Kepuh. Fungsi dan manfaatnya masih sangat dibutuhkan oleh warga", begitu kara Kelvian Adhi, tokoh pemuda sekaligus anggota Bamuskal Kalurahan Giring.

Ngobrol kami kemudian sampai pada bagaimana mengembalikan resistensi air Telaga Kepuh. Melihat proses keringnya telaga-telaga di Gunungkidul, permasalahan yang terjadi memang memang cukup kompleks.

"Upaya revitalisasi telaga oleh pemerintah memang bermaksud baik. Tapi, ketika secara teknis kurang mempertimbangkan aspek pengetahuan lokal tentang telaga, yang terjadi justru bisa mengancam kelestariannya", begitu kata Sidik Asyianta, pegiat Resan Gunungkidul yang berdomisili di Kalurahan Kepek, Kapanewon Saptosari.

Sidik mencontohkan keadaan Telaga Winong yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. Minimnya 'semenisasi' dan terjaganya vegetasi seputaran Telaga Winong, membuat telaga ini airnya tak pernah kering sepanjang tahun. Telaga Winong di Kapanewon Saptosari ini adalah satu dari sedikit telaga yang masih bertahan di Gunungkidul.

"Keringnya telaga, sangat dimungkinkan karena hilangnya lapisan 'lendhut lemi' dasar telaga akibat pengerukan. 'Lemi' ini adalah penahan air alami yang melapisi dasar telaga agar air tidak cepat meresap," kata Ndaru, pegiat Resan Gunungkidul yang berasal dari Kapanewon Playen.

"Karakteristik kawasan karst memang mempunyai sifat meresapkan air permukaan ke dalam tanah dan menjadi cadangan air bawah tanah," imbuh Guntur Susilo, pegiat Resan Gunungkidul dari Wonosari.

"Lalu apa yang bisa kita lakukan bersama agar ada upaya melestarikan air telaga?" tukas Kelvian antusias.

Dari berbagai usulan dalam obrolan 'saur manuk' (diskusi bebas) siang itu, ada beberapa poin yang sangat mungkin bisa dilakukan, diantaranya bagaimana caranya mengembalikan lapisan 'lendhut lemi' dasar telaga sebagai membran alami penahan air. Pentingnya menanam dan merawat vegetasi kawasan penyangga telaga, serta 'nguri uri' (melestarikan) upacara adat terkait merawat telaga.

Usulan menebar 'lethong' (kotoran sapi) dan daun daunan di dasar telaga juga sangat masuk akal untuk dilakukan. Upaya ini berdasar pengetahuan lokal, dimana dulu ceritanya, warga memandikan dan memberi minum sapi-sapi peliharaan mereka di telaga.

Sapi-sapi ini akan membuang kotorannya di dasar telaga, bercampur dengan tanah, diinjak-injak dan akhirnya tanah akan kaya dengan unsur hara (mikro organisme).

Dalam khasanah pengetahuan lokal, 'lendhut lemi' adalah lumpur tanah yang halus, lembut dan sangat subur. 'Gupak Warak' (kubangan kerbau) adalah bukti nyata akan hal ini. Secara empiris, warga seputaran telaga telah membuktikan bahwa sapi-sapi yang dimandikan di telaga ternyata mempunyai fungsi ini.

Fungsi daun yang ditebar di telaga adalah sebagai kompos hijau. Pada telaga alami, komponen ini berasal dari guguran daun-daun pohon resan yang mengelilingi telaga. Fungsi pohon-pohon ini juga untuk menciptakan iklim makro telaga yang teduh sehingga mengurangi penguapan air di musim kemarau. Akar-akarnya berfungsi menahan erosi dan sedimentasi dasar telaga. Bisa juga sebagai habitat ekosistem flora dan fauna penjaga kelestarian telaga.

"Sangat mungkin bisa dicoba tumbuhan enceng gondok. Saya pernah bereksperimen di kolam saya yang berukuran kecil. Ternyata saat air surut, akar, batang dan daun enceng gondok akan menyelimuti tanah, dan berfungsi sebagai pelapis" imbuh Onggo, teman Resan dari Kapanewon Playen.

Ternyata, ia telah melakukan serangkaian pengamatan sederhana terkait pengaruh tumbuhan enceng gondok pada kolam di rumahnya.

"Memang tumbuhan ini bersifat invasif dan cepat sekali penyebarannya. Tapi untuk lingkungan air terbatas seperti telaga, kontrolnya relatif lebih mudah dilakukan. Enceng gondok yang mati juga bisa dengan cepat menjadi kompos. Akarnya juga menjadi rumah atau habitat ikan lokal bisa bertelur dan berkembang biak," imbuh Onggo.

Obrolan semakin gayeng, kehadiran Mr. Jonathan Smith, doktor dari Inggris yang sedang riset di Gunungkidul dan Puja mahasiswa S2 CRCS UGM memperkaya wacana dan diskusi bebas di tepi Telaga Kepuh siang itu.

Matahari semakin meninggi, kami segera bersiap untuk meneruskan agenda kedua di acara hari itu, yakni menggali/menormalisasi Kentheng Gentungan, serta menanam kembali pohon gentungan di dekatnya.

Upaya revitalisasi telaga dengan cara tradisional yang dibahas tadi adalah program kami selanjutnya. Meski kami sadar bahwa hal ini tentu tidak mudah. Keterlibatan masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak menjadi sangat penting dalam upaya ini.

Kesadaran dan kepedulian bersama untuk merawat sumber air sebagai sumber kehidupan adalah tujuan yang harus diupayakan bersama. Harapannya, telaga-telaga dan sumber air lainnya di Gunungkidul bisa kembali lestari dan bisa dimanfaatkan generasi selanjutnya. Impian dan harapan yang terus membakar semangat kami yang hanya bermodal niat dan usaha semampunya.

Lebih baru Lebih lama