Hutan Adat Wanasadi, Perintis dan Sosok Srikandi Penjaganya



                          Sri Hartini

*Hutan Wanasadi dijaga oleh sebuah kepercayaan tentang narasi sebagai sebuah kawasan hutan yang penuh rahasia dan keramat. Dengan keyakinan itu, ekosistem lingkungan yang terbangun selama puluhan tahun bisa lestari dan bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya. Air mengalir sepanjang tahun dari tiga buah sumber air yang muncul dibawah bukit.  Namun, keadaan itu tidak terjadi begitu saja. Ada cerita perjuangan panjang puluhan tahun tak kenal lelah dari seorang warga bernama Sudiyo. Perjuangan yang saat ini diteruskan oleh anak perempuannya sebagai seorang Jaga Wana*

Sosok (resan.id) - Matahari belum begitu tinggi, suasana jalan yang menghubungkan antara Kapanewon Nglipar dan Ngawen pagi itu tidak begitu ramai dengan kendaraan. Pelan-pelan, kupacu sepeda motor di atas aspal pada kontur jalan naik turun dan berkelok di zona utara Gunungkidul. Saya kemudian berhenti pada sebuah pertigaan yang ditengahnya ada sebuah pohon beringin. 

Tepat dibawahnya tertancap plang/tanda arah petunjuk tempat yang tertulis 'Alas Wanasadi'. Mengambil jalan ke kiri, sejurus kemudian, setelah melewati obyek wisata Watu Gendhong, saya sampai  perempatan dengan sebuah patung sosok seorang perempuan berpakaian Jawa yang berdiri tegak. 'Roro Resmi' begitu bunyi tulisan yang terpahat di dekat kaki patung. Sekitar lima menit dari situ, saya sampai di rumah tujuan, setelah sempat bertanya pada seorang bapak yang akan berangkat ke ladang.

"Mari, mangga, kita ngobrol di gazebo saja ya, biar lebih nyaman," sambut seorang wanita setengah baya, setelah basa-basi kulanuwun dan menyampaikan maksud kedatangan saya.

Perempuan itu adalah Sri Hartini (54), warga Padukuhan Duren, Kalurahan Beji, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Dibalik sosok feminim sebagai seorang ibu, perempuan berkerudung kelahiran 13 Agustus 1968 ini adalah seorang Jaga Wana (penjaga hutan). Tugas yang tentunya tidak ringan, karena sebagai seorang wanita, ia harus memimpin rekan-rekannya menjaga hutan adat Alas Wanasadi. Sri Hartini adalah perempuan satu satunya dari 25 orang anggota kelompok penjaga hutan, bahkan ia dipercaya sebagai ketua dari kelompok Jaga Wana tersebut.


Wanasadi berasal dari dua kata yang digabung menjadi satu. 'Wana' mempunyai arti alas/hutan dan 'sadi' adalah rahasia. Wanasadi bisa diartikan sebagai sebuah kawasan hutan yang menyimpan banyak rahasia. Kawasan hutan seluas kurang lebih 25 hektar ini terletak di Kalurahan Beji, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul. Status tanahnya adalah milik Sultan Ground (SG). 

"Saya itu tidak.mencalonkan diri menjadi ketua Jaga Wana, tapi diminta untuk meneruskan perjuangan Almarhum Bapak," kata Sri memulai cerita, saat kami mulai duduk di gazebo.

"Tidak ada upah yang kami terima dari pekerjaan ini. Kami lakukan semuanya dengan niat ikhlas demi lingkungan yang lebih baik untuk masa depan kehidupan anak cucu," lanjutnya lagi.

Gemericik air dari sebuah kali kecil di samping gazebo menjadi iringan kami mengobrol. Dari sebelah atas, kicauan burung dan suara kera ekor panjang terdengar lamat-lamat terbawa angin yang berhembus pelan. Kabut tipis tersisa menyaput pucuk pucuk pohon diatas bukit. Alas Wanasadi pagi itu memang menampakkan wibawa dan keangkerannya. Suasana asri menyelimuti keadaan sekitar, simfoni suara alam yang melantunkan harmoni sempurna. Keadaan ini, seakan tak terbayangkan puluhan tahun lalu, dimana kekeringan dan bencana adalah ancaman nyata yang harus dihadapi warga pasca pembalakan liar yang hampir menghabiskan seluruh pohon di Alas Wanasadi.

Hutan adat Wanasadi dilihat dari Obwis Watu Gendhong


Menurut cerita, sekitar tahun 1950, saat zaman 'larang pangan (gaber)' pernah terjadi penjarahan besar-besaran di kawasan hutan Wanasadi. Zaman 'gaber' memang tercatat pernah melanda wilayah Gunungkidul, keadaan dimana bahan pangan sangat langka dan mahal. Zaman ini ditandai dengan gagalnya panen para petani dan merebaknya hama tikus. Warga terpaksa menjual apapun yang mereka punya untuk dibelikan bahan pangan. Termasuk juga menjarah pohon-pohon di hutan untuk kemudian dijual atau ditukar dengan makanan. Waktu itu, belum ada hukum yang kuat, jadi pihak berwenang tak ada yang berani melarang atau mencegah. Hampir tiap hari kayu-kayu dari atas diturunkan kemudian ditumpuk untuk kemudian dijual

"Bapak pernah cerita, tiap malam di atas tumpukan kayu yang telah ditebang banyak 'asu ajak' (anjing hutan) bergerombol dan menggonggong. Hewan ini tidak takut pada manusia, katanya 'asu ajak' ini makhluk setengah siluman. Cerita bapak, hewan-hewan ini seperti marah dan tidak terima rumahnya dirusak oleh manusia," kata Hartini.

Setelah hutan gundul dan hanya menyisakan beberapa pohon di atas bukit, maka akhirnya sering terjadi bencana alam. Jika musim hujan, banjir dan longsoran batu menimpa dusun-dusun dibawahnya, dan jika musim kemarau maka masyarakat akan kekurangan air. Sumber air yang dulu mengalir dari Alas Wanasadi mulai mengering, sehingga warga terpaksa harus mencari air ke tempat yang lebih jauh. 

Keadaan yang terus memprihatinkan ini akhirnya  mengundang kepedulian dari Sudiyo, seorang guru SD di wilayah tersebut. Sudiyo adalah bapak dari Sri Hartini. Dengan mengajak beberapa warga yang mau, Sudiyo mulai menanami kembali kawasan hutan Wonosadi yang tandus dan kering. Menurut cerita Hartini, awalnya, apa yang dilakukan bapaknya ini bukannya mendapat dukungan tapi malah mendapat cibiran dari warga yang lain

"Awalnya, bapak banyak dicemooh orang, sering diejek mengapa mau menanam pohon yang tidak bisa dijual atau dipanen, mereka mengatakan bahwa bapak mengerjakan sesuatu hal yang sia- sia," lanjutnya

Sri Hartini kemudian banyak bercerita, tentang kisah suka duka perjuangan almarhum bapaknya dalam upaya memulihkan Alas Wanasadi. Setelah pulang dari tugas mengajar di sekolah, Sudiyo kemudian beraktivitas di Alas Wanasadi yang seakan telah menjadi ladang pengabdiannya yang kedua setelah ruang kelas. Hartini kecil sering ikut bapaknya, membawakan bekal dan ikut membantu menanam dan merawat pohon-pohon dikawasan hutan. Ia sampai hapal betul seluk-beluk Alas Wanasadi saking seringnya mengikuti perjuangan bapaknya yang dimulai puluhan tahun lalu itu.

"Perjuangan bapak dulu sangat berat, tanah tandus dan kering, kalau kemarau tidak ada air, bapak tiap hari harus berkeliling untuk merawat, menyiram atau menanami di sepanjang kawasan. banyak tanaman yang telah ditanam hilang atau mati, dan saya sering ikut bapak, sambil membawakan bekal," kata Hartini sambil mengenang almarhum bapaknya. 

Tantangan yang dihadapi Sudiyo, selan faktor alam juga faktor kesadaran masyarakat yang masih minim. Namun hal itu tidak menurutkan niat dan perjuangan yang telah ia yakini. Selain terus melakukan penanaman dan perawatan pohon, Sudiyo juga tak lelah untuk terus mengajak warga lain untuk ikut memperbaiki lingkungan dengan cara merawat hutan. Salah satunya adalah dengan media kesenian yakni Rinding Gumbeng. Kesenian ini menggunakan alat musik dari bambu, cara memainkannya dengan ditiup. Rinding Gumbeng merupakan alat musik tradisional yang telah ada sejak zaman dulu. Dimainkan oleh para petani untuk mengusir lelah disela kesibukannya di ladang. 

Rinding Gumbeng akhirnya menjadi salah satu media untuk Sudiyo bersosialisasi kepada warga tentang pentingnya merawat lingkungan. Perjuangan yang tak kenal lelah ini akhirnya mulai membuahkan hasil. Ada beberapa orang yang akhirnya ikut tergerak dan membantu perjuangan Sudiyo, sehingga akhirnya terbentuk kelompok masyarakat Jaga Wana Ngudi Lestari.


Dengan mulai terbangunnya kesadaran masyarakat, maka upaya Sudiyo untuk memulihkan Alas Wanasadi dari tahun ke tahun hasilnya mulai nampak. Alas yang dulu tandus dan gundul mulai tampak menghijau. Mata air mulai  kembali hidup dan awet sepanjang tahun meski debitnya masih kecil. Kelompok Jaga Wana Ngudi Lestari juga mulai diperhatikan oleh banyak pihak. Keberhasilannya  dalam merawat dan mengembalikan Alas Wanasadi menjadi berfungsi seperti semula mulai dikenal banyak orang. Termasuk perhatian dari pemerintah. Tercatat beberapa kali Menteri Lingkungan Hidup berkunjung ke Alas Wanasadi. Kelompok Jaga Wana ini dijadikan pilot project dan tempat studi banding banyak kelompok lain terkait pemanfaatan dan pelestarian hutan. Berbagai penghargaan, entah dari pemerintah maupun swasta juga diraih oleh Jaga Wana Ngudi Lestari.

Sudiyo meninggal tahun 2011, setelah itu kelompok Jaga Wana  tidak lagi punya ketua. Warga dan anggota Jaga Wana akhirnya meminta Sri Hartini menggantikan posisi almarhum bapaknya. Waktu itu, Sri Hartini masih berstatus sebagai pengajar PAUD di desanya. Ia mengaku belum berpikir untuk menjadi ketua Jaga Wana. Selama ini yang ia lakukan hanya sekedar membantu almarhum bapaknya untuk mengurus Alas Wanasadi

"Anggota meminta saya untuk menggantikan bapak, tapi waktu itu saya belum sanggup, saya merasa tidak mampu untuk menggantikan peran bapak, saya juga berpikir masak seorang perempuan, menjadi penjaga hutan," ujar Hartini.

Akhirnya, sepeninggal Sudiyo selama setahun lebih tetap belum ada yang mengganti posisinya. Jaga Wana Wonosadi tidak punya ketua, sehingga kegiatan kelompok  menjadi terganggu. Melihat hal ini, untuk kedua kalinya, Lurah Beji meminta Sri Hartini mau meneruskan perjuangan almarhum bapaknya.

"Setelah didesak banyak pihak, akhirnya saya memutuskan menerima amanah ini. Pertimbangan terbesar saya adalah melaksanakan amanah bapak. Sebelum meninggal, beliau berpesan kepada saya agar selalu menjaga Alas Wanasadi sekaligus melestarikan kesenian Rinding Gumbeng," cerita Sri Hartini.

Hartini akhirnya juga menyadari, bahwa meski saudaranya yang berjumlah 4 orang dan ada laki-lakinya, tapi sejak kecil justru dia yang perempuan yang sering diajak bapaknya untuk keluar masuk hutan.

"Ternyata maksud bapak saya memang harus menggantikannya, beliau membimbing saya sejak jauh hari, memberikan ilmu hingga seluk-beluk terkait hutan adat ini, sebelum meninggal semua dokumen, surat surat, piagam penghargaan yang berkaitan dengan hutan Wanasadi juga diserahkan ke saya," imbuhnya.


Selain itu, menurut Hartini, hal lain ia memutuskan menerima tugas itu adalah dukungan suami dan anak-anaknya. Mereka selalu menyemangati, bahwa amanah ini asal dikerjakan dengan rasa ikhlas adalah suatu hal yang penting dan mulia. Dan tugas ini bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau keluarga, tapi untuk masyarakat banyak dan masa depan generasi.

Setelah memikul tanggung jawab ini, Hartini menyadari bahwa tugas sebagai ketua Jaga Wana memang berat. Sebagai satu-satunya wanita dari 25 orang Jaga Wana yang semuanya laki laki, membuat Hartini harus pintar-pintar membawa diri. Beruntung, almarhum bapaknya sudah merintis upaya ini sejak lama.

"Saya selalu menyemangati diri sendiri, perjuangan ini tak seberat waktu dulu pertama kali bapak memulai, jadi akhirnya saya bisa menikmati pekerjaan sukarela ini dengan sepenuh hati,' ungkapnya.

Matahari semakin meninggi, beberapa petani sudah mulai pulang dari ladangnya. Ada yang memakai sepeda motor, ada pula yang berjalan kaki sambil membawa pakan ternak. Mereka dengan ramah menyapa kami yang ngobrol di gazebo.

Kami kemudian berjalan memasuki kawasan hutan. Ada gapura besar di pintu masuk yang bertuliskan Alas Wanasadi. Juga tertempel beberapa tulisan tentang ajakan merawat alam maupun larangan-larangan yang tabu dilakukan di kawasan hutan.

"Maaf ya mas, saya tidak bisa mengantar terlalu masuk ke dalam. Kaki saya baru sakit, beberapa waktu lalu saya terpeleset, dan ini belum bisa untuk berjalan jauh," kata Hartini, yang segera saya iyakan

Sambil meneruskan mengobrol, pelan-pelan kami naiki anak tangga satu persatu ke arah atas. Di kanan kiri jalan, pohon bambu rimbun menaungi. Gesekan daun yang terhembus angin, terdengar sebagai musik alami yang membius panca indera

"Nanti sampai anak tangga terakhir saja, disitu ada sumber air yang dialirkan ke bawah," lanjutnya.

Menurut Hartini, saat ini, sebetulnya untuk penjarahan kayu di kawasan hutan memang sudah hampir tidak ada. Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuat kawasan hutan ini bisa mempunyai manfaat ekonomi lebih bagi masyarakat tanpa harus merusaknya. Hutan Adat Wanasadi sendiri memang dipercaya sebagai hutan yang wingit atau angker. Kepercayaan masyarakat tentang hukum adat, bahwa menebang kayu di Wanasadi bisa berakibat kesialan masih dipegang teguh oleh warga. Hal ini berdasar banyak cerita dan kejadian yang mendukung hal tersebut.

Saat ini, Hartini sebagai ketua Jaga Wana kemudian banyak menggagas tentang Inovasi- inovasi, diantaranya merintis wisata minat khusus serta wisata edukasi tentang pengelolaan hutan. Juga program 'Kehati' (keanekaragaman hayati) serta penanaman pohon buah untuk antisipasi serangan kera ekor panjang ke lahan pertanian penduduk. Hartini akhirnya juga berhasil membawa Wanasadi banyak bekerjasama dengan dinas terkait, terutama Dinas Lingkungan Hidup, pihak pihak akademisi dan organisasi organisasi yang lain. Di sisi lain, Alas Wanasadi juga semakin berkembang dan asri, baik jenis flora maupun fauna di dalamnya. 

"Banyak mahasiswa yang sering belajar ke sini. Biasanya mereka menginap sampai jangka waktu tertentu," imbuhnya.

Namun, saat ini Hartini mulai berpikir, bahwa usianya dan para Jaga Wana yang lain semakin menua.  Fisik juga sudah tidak sekuat dulu lagi, sehingga regenerasi adalah suatu hal yang harus segera dilakukan. Berbagai hal mulai dilakukan untuk mengajak anak-anak muda agar nantinya ada penerus dalam menjaga Alas Wanasadi.

"Kami terus mengajak anak anak muda untuk terus mencintai dan merawat hutan, pengertian bahwa merawat alam akan berdampak baik bagi kehidupan selanjutnya terus ditanamkan. Saat ini anak- anak muda kami libatkan di wisata Wanasadi, juga sering menjadi guide jika ada tamu yang berkunjung ke Wanasadi. Untuk Rinding Gumbeng, sekarang juga kelompok keseniannya banyak anak anak mudanya," 


Saat sampai di anak tangga terkahir, kami kemudian melihat  sumber air. Di bawah pohon jambu klampok, disela-sela batu tampak air bening mengalir yang kemudian ditampung di bak penampungan dan dialirkan ke bawah. Benar memang, perjuangan Almarhum Sudiyo yang sekarang diteruskan oleh Sri Hartini dan 25 penjaga hutan adat Wanasadi lainnnya adalah bukti, bahwa betapa alam dan lingkungan terutama hutan sangat penting untuk dijaga dan dirawat. Dengan lebatnya vegetasi di kawasan hutan Wanasadi saat ini ada tiga buah mata air yang besar yang mengalir sepanjang tahun dari Wanasadi. Air ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk kebutuhan sehari hari, juga untuk mengairi sawah dan ladang mereka.

Panas matahari tak mampu menembus lebatnya pohon di Alas Wanasadi. Tak terasa waktu sudah beranjak sampai tengah hari. Obrolan kami masih asyik dan seru, hingga suara adzan dari masjid di bawah terdengar berkumandang. 

"Almarhum bapak pernah berpesan, dan itu terus saya ingat dan saya pegang teguh, bahwa menjaga hutan adalah menjaga kehidupan. Jangan tinggalkan air mata untuk anak cucu, tapi tinggalkanlah mata air," pungkas Sri Hartini, teriring saya berpamitan.

(Tulisan ini pernah dimuat di website rebowagen.com. Hari ini kami posting ulang untuk memperingati Hari Hutan Dunia, tanggal 21 Maret. Terima kasih para Jaga Wana, penjaga elemen kehidupan)









Lebih baru Lebih lama