Balong dan Mbalong


Resan id-- Kata 'balong' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai 'kolam untuk budidaya ikan'. Juga diartikan sebagai 'tanah rendah' (lekuk) yang tergenang air dan berlumpur'

Pada kegiatan Resan Gunungkidul, Minggu, 18 Februari 2024 mendatang, akan diadakan giat tanam di Telaga Balong, yang berlokasi di Padukuhan Ngemplek, Kalurahan Piyaman, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. 

Telaga Balong dalam pengucapannya disebut dengan Telaga Mbalong. Lidah orang Gunungkidul memang sering menambahkan awalan huruf 'm' dalam pengucapan sebuah kata. Pengucapan Ini sering kita temukan saat sebuah kata benda dirubah menjadi kata kerja atau sifat dengan akhiran yang diimbuhi dengan huruf 'i'. Atau kata kerja atau sifat yang diucapkan sebagai sebuah bentuk penekanan

"Jam pitu mengko, aku rep neng 'mbantul', tilikan wong lara (jam tujuh nanti, aku akan ke Bantul, menjenguk orang sakit).
Dalam kalimat di atas ada satu kata benda yang merujuk nama tempat yakni 'Bantul' yang pengucapannya dirubah menjadi 'mbantul'. Ini menjadi penekanan tentang sebuah aktivitas yang akan dilakukan yakni 'pergi ke Bantul untuk menjenguk orang sakit'

"Sesuk korban rep 'mbeleh'' sapi pira? (besok hari korban mau menyembelih sapi berapa?)

"Ana uwong kok senenge 'mbingungi' (orang kok senangnya gampang bingung). Kalimat ini merujuk pada suatu penekanan pada suatu kata sifat yakni bingung yang berlebihan/panik

- bubut/mbubuti (mencabuti)
- betet/mbeteti (membersihkan)
- batur/mbaturi (menemani)
- bebek/mbebeki (kebingungan)
- bagus/mbagusi (merasa ganteng)
- budeg/mbudegi (tuli)
 dan lain-lain


Kembali ke kata 'balong' menjadi 'mbalong'. Berawal dari ide Guntur Susilo, salah satu pegiat Resan Gunungkidul yang berpikir tentang telaga di wilayah tengah Gunungkidul, terutama seputaran Wonosari sebagai pusat kota. 

Telaga di Gunungkidul memang dominan berada di wilayah selatan (Zona Gunung Sewu). Tetapi, memang ada beberapa telaga berada di wilayah tengah (Ledhok Sari). Salah satunya adalah Telaga Balong yang masuk dalam wilayah Kapanewon Wonosari. Ada beberapa telaga yang lain, misal Telaga Budegan, Telaga Kemorosari dan Telaga Baleharjo 

Telaga Balong berada tidak jauh dari pusat Kota Wonosari. Luasan telaga memang terbilang kecil, hanya sekitar 10 x 20 meter. Sekitarnya adalah lahan pertanian produktif yang digarap oleh warga. Berbagai tanaman pertanian mulai dari padi, jagung, kacang dan tanaman hijauan pakan ternak tampak hijau menghampar luas

Selepas agenda penanaman di Telaga Budegan bersama Kodim 0730 Gunungkidul pada Selasa 6 Februari 2024 kemarin, saya, Guntur dan Onggo menyempatkan diri untuk mampir ke Telaga Balong. Dengan diantar oleh Bu Nuning  yang saat ini menjabat sebagai Dukuh Padukuhan Ngemplek.

"Dulu telaga ini tidak pernah kering. Saya ingat waktu kecil bersama  teman-teman sering mandi di tempat ini," kata dukuh perempuan yang kira-kira berusia 40-an tahun ini

Keberadaan telaga, menurut Bu Dukuh digunakan untuk menunjang usaha pertanian warga. Dulu, para petani di sekitar telaga sering mengambil air untuk berbagai keperluan. Saat ini, keberadaan sumur bor telah menggantikan peran dari Telaga Balong 

"Oleh Karang Taruna, kemarin sempat diisi air dengan tangki untuk pemancingan, tapi air segera kering sehingga pemancingan gagal," cerita Bu Dukuh

Ada tiga pohon ditepi telaga, masing-masing, pohon beringin, asam jawa dan sono keling. Pohon beringin tampak tidak berkembang sempurna karena dahannya sering dipangkas

"Statusnya ini tanah SG, kalau cerita sejarahnya saya tidak begitu paham, tapi sejak dulu orang orang tua menyebutnya Telaga Mbalong," lanjut Nuning

Di sebuah gubuk dekat telaga, kami banyak mengobrol tentang Telaga Balong. Harapan Bu Dukuh tentang pengembangan pertanian di sekitaran telaga yang berpotensi mengembangkan ekonomi warganya. Juga tentang program dari pemerintah propinsi yang telah dicanangkan pemerintah desa yakni Lumbung Mataraman. Rencananya, Lumbung Mataraman akan dibangun di lahan seputaran kawasan Telaga Balong

Fakta keberadaan telaga di Zona Tengah memang cukup menarik. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa sebelum berkembang menjadi pusat kota, di wilayah tengah Gunungkidul masyarakatnya tetap menggantungkan hidup dari pertanian/agraris. Meskipun saat ini, karena pengaruh jaman profesinya berubah menjadi pekerja, wiraswasta, buruh atau sektor ekonomi lainnya

'Balong' menjadi 'Mbalong' sekiranya bisa diartikan bukan sebatas logat ucapan. Orang-orang tua dulu sangat mungkin berpikir tentang bagaimana nanti kita bisa mengembangkan sebuah potensi di suatu kawasan. Balong menjadi 'mbalong' adalah sebuah kata penekanan agar Telaga Balong, meski ukurannya kecil akan terus dapat dimanfaatkan

Kita mungkin bisa membayangkan, lahan pertanian di seputaran pusat Kota Wonosari sangat potensial dikembangkan sebagai penyuplai bahan pangan (terutama sayur). Jaraknya yang tidak begitu jauh dari pusat ekonomi (Pasar Argosari), tentu akan memudahkan distribusinya. Selama ini, ketersediaan sayuran di Pasar Argosari bahannya masih didominasi dari luar wilayah Gunungkidul.

Konsep Lumbung Mataraman yang akan dibangun tentu sangat relevan dengan hal ini. Dengan nilai tambah ekonomi dari hasil pertanian, ketertarikan masyarakat untuk bertani tentu akan kembali meningkat, terutama para petani muda

Giat tanam Resan Gunungkidul pada Minggu 18 Februari 2024 besok di Telaga Balong hanya sekedar ikhtiar. Dengan upaya ini, semoga keberadaan Telaga Balong tetap lestari. Keberadaannya menjadi monumen spirit dalam menjaga dan membangun wilayah. Dengan melibatkan Karang Taruna Padukuhan Ngemplek dan siswa-siswa SMA N 1 Wonosari akan menjadi suatu harapan. Generasi muda yang mampu berinovasi dalam pengembangan ekonomi agraris berbasis jaman. Apalagi konsep Lumbung Mataraman yang akan dibangun tentu menjadi suatu hal yang relevan. Semoga...








Lebih baru Lebih lama